SOPAN SANTUN DALAM KEHIDUPAN


SOPAN SANTUN DALAM KEHIDUPAN




Saat ini boleh dikata sopan santun sering terlupakan. Anak-anak SMP dengan enteng memanggil kawannya dengan sebutan nama-nama binatang meski sekadar bercanda. Para sopir dengan mudah memaki-maki sopir lain karena saling berebut paling dulu. Anak-anak sekolah karena kata-kata yang buruk akhirnya tawuran yang tak jarang menimbulkan korban jiwa. Itu semua disebabkan karena tiadanya akhlak atau sopan santun.
Sopan santun merupakan unsur penting dalam kehidupan bersosialisasi sehari - hari setiap orang, karena dengan menunjukan sikap santunlah, seseorang dapat diharagai dan disenangi dengan keberadaanya sebagai makhluk sosial dimanapun tempat ia berada. Dalam kehidupan bersosialisasi antara sesama manusia, sudah tentu kita memiliki norma-norma / etika-etika dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini sopan santun dapat memberikan banyak manfaat atau pengaruh yang baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Ada juga sebagian orang yang rajin belajar agama dan rajin beribadah kepada Tuhan, namun akhlaknya kepada sesama manusia sangat buruk. Mereka berjalan dengan sombong dengan muka ke atas seolah-olah surga sudah di tangannya dan yang lain tidak.
Sopan santun merupakan budaya yang sangat melekat dengan orang Indonesia. Di mata dunia, Indonesia terkenal dengan budaya yang menjunjung tinggi keramahan dan sopan santunnya.

A.   Pengertian Sopan Santun
Sopan santun merupakan cermin perilaku baik batin seseorang. Perilaku kita merupakan imbas dari fikiran kita, dan watak yang baik dan perilaku dipaparkan dalam tindakan kita. Ketika kita mengerahkan kekuatan yang kita miliki untuk diberikan kepada Allah sebagai Pencipta kita, sejatinya kita sedang menjejalah cahaya kekuatan rahasia dari dalam diri kita; dengan sopan santun kekuatan ini dinyatakan secara lahiriah sebagai keindahan - keindahan jiwa dan tindakan.
Menurut Sofyan Sauri dalam bukunya “Pendidikan Berbahasa Santun” santun dalam istilah Alquran bisa diidentikkan dengan akhlak dari segi bahasa, karena akhlak berarti ciptaan, atau apa yang tercipta, datang, lahir dari manusia dalam kaitan dengan perilaku.
Perbedaan antara santun dan akhlak dapat dilihat dari sumber dan dampaknya. Dari segi sumber, akhlak datang dari Allah Sang Pencipta, sedangkan santun bersumber dari masyarakat atau budaya. Dari segi dampak dapat dibedakan, kalau akhlak dampaknya dipandang baik oleh manusia atau masyarakat sekaligus juga baik dalam pandangan Allah SWT. Sedangkan santun dipandang baik oleh masyarakat, tetapi tidak selalu dipandang baik menurut Allah SWT. Kendatipun demikian, dalam pandangan Islam nilai-nilai budaya bisa saja diadopsi oleh agama sebagai nilai-nilai yang baik menurut agama. Hal itu yang dikenal dengan istilah makruf. Makruf berasal dari kata urf, yaitu kebiasaan buruk yang berlaku di masyarakat yang juga dipandang baik menurut pandangan Allah. Kesantunan dalam perspektif Islam merupakan dorongan ajaran untuk mewujudkan sosok manusia agar memiliki kepribadian muslim yang utuh (kaffah), yakni manusia yang memiliki perilaku yang baik dalam pandangan manusia dan sekaligus dalam pandangan Allah.
Menurut pandangan ahli lain sopan santun adalah suatu sikap atau tingkah laku yang ramah terhadap orang lain, terhadap apa yang ia lihat, ia rasakan, dan dalam situasi, kondisi apapun. Sopan santun berarti peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekolompok manusia didalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari masyarakat tersebut.
Setelah kita mengetahui pengeretian tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap sopan santun patutlah dilakukan dimana saja temapat kita berada, sesuai dengan kebutuhan lingkungan, tempat, dan waktu karena sopan santun bersifat relatif dimana yang dianggap sebagai norma sopan santun berbeda-beda disetiap tempatnya, seperti sopan santun dalam lingkungan rumah, sekolah, pergaulan, dan sebagainya. Hal tersebut kita lakukan dimanapun tempat kita berada, kita akan selalu dihormati, dihargai, dan disenangi keberadaan kita oleh orang lain.

B.   Manfaat Sopan Santun
1.      Manfaat sopan santun bagi diri sendiri:
a.  Dapat dihargai, dihormati dan di senangi banyak orang
b.  Mendapat kepercayaan dari orang lain
c.   Di mata orang lain akan dipandang sebagai orang yang mempunyai perilaku baik
d.  Dapat memupuk rasa persaudaraan, pertemanan dan persahabatan
e.  Menjaga hubungan baik dan harmonis dengan orang yang ada di sekitar kita
f.    Dapat menghindari perselisihan dan pertentangan dengan orang lain
2.      Manfaat sopan santun bagi orang lain:
a.  Akan merasa dihargai dan dihormati oleh orang lain
b.  Dapat membina dan menjaga hubungan baik
c.   Memupuk rasa persaudaraan dan persahabatan
d.  Dapat menjadi contoh pembelajaran yang baik
e.  Orang lain akan merasa nyaman dekat dengan kita

C.   Cara penerapan sikap sopan-santun dalam kehidupan sehari-hari
1.  Senyum
Bila bertemu atau berpapasan dengan sesama teman ataupun sesama murid dalam sekolahan. Pandanglah wajahnya sambil tersenyam dengan manis ikhlas dan tulus dari dalam hati agar timbul rasa perdamaian dalam diri kita masing-masing sehingga tidak mengurangi rasa keramahan dan kesopanan.
2.  Sapa dan penghormatan
Setelah anda memberikan senyuman yang manis dengan rasa ikhlas dan tulus sapalah orang tersebuut dengan memberikan salam, Selamat pagi, siang, sore atau Assalamulaikum dengan baik dan benar dan saling mempercayai antar siswa/murid sekolah agar supaya dapat saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
3.  Bersalaman/berjabat tangan
Kemudian ajaklah bersalaman untuk menunjukan bahwa kita bersaudara yang tidak akan pernah ada permusuhan dan permasalahan, dan selalu siap dalam berkoordinasi/bekerja sama antara sesama siswa atau murid dalam sekolahan.
4.  Sopan
Didalam peembicaraan dan bersikap, tunjukanlah sikap yang sopan dan bertutur kata (berkomunikasi) dan berperilaku yang sopan agar tidak menyinggung/menyakiti orang lain, khususnya sesama siswa/murid di sekolahan.
5.  Sayang.
Didalam lingkungan sekolah hendaklah didasari rasa kasih sayang mendalam sehingga tercipta satu rasa satutujuan untuk menciptakan rasa yang harmonis dan juga dinamis dalam limgkungan sekolahan.
6.  Siap.
Kata “iya” harus di ganti dengan kata “siap” karena kata siap identik dengan kesungguhan dan kesanggupan untuk melaksanakan tugas. Siap di koreksi siap di kritik dan juga siap untuk introspeksi diri masing-masing. Siap memperbaiki kekurangan dan selalu siap menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam belajar di sekolah.
7.  Mohon izin.
Kata permisi diganti dengan kata “mohon izin” karena kata mohon izin menunjukan ketegasan, kesopanan, dan juga kerendahan hati.
8.  Serius
Setiap melaksanakan tugas dalam belajar harus di lakukan dengan penuh keseriusan, disiplindan penuh tanggung jawab dengan dasar 4 mental yaitu:
a.      Ikhlas dalam melaksanakan tugas dan membantu oang lain juga dalam niat.
b.      Jujur dalam segi absensi siswa. dan dalam segi melaksanakan tugas.
c.      Tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan juga hasil pekerjaan sekolah.

D.   Faktor-faktor yang mempengaruhi berkurangnya sopan santun
1.  Faktor Internal
a.  Individu
Faktor yang mempengaruhi kurangnya sopan santun dikalangan remaja/siswa disebabkan oleh individu atau pribadi orang tersebut. Kurangnya pondasi iman dan ketaatannya pada agama membuat seseorang terjun dalam hal yang negatif. Sebagai contoh saat seseorang mengalami kekecewaan terhadap dirinya karena gagal dalam mewujudkan apa yang diharapkan, seseorang tersebut melakukan hal yang negatif seperti bolos sekolah, merokok minum minuman keras dan narkoba yang di anggap bisa membuat masalahnya hilang dalam sesaat. Selain itu remaja/siswa selalu besar keinginannya untuk mencari jati dirinya. Sehingga rasa penasaran dan ingin mencoba sangatlah besar.
b.  Keluarga
Keluarga memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikologi seorang anak. Pola asuh yang salah yang dilakukan kepada anak bisa mengakibatkan hilangnya sopan santun anak tersebut

Kepribadian seorang anak bisa dibentuk dari beberapa faktor, salah satunya adalah keluarga. Menurut Brown (dikutip dalam Yusuf, 2004), keluarga memiliki dua arti. Dalam arti luas, keluarga merupakan orang-orang yang memiliki hubungan darah atau keturunan sehingga bisa dihubungkan dengan marga. Dalam arti sempit, keluarga terdiri dari orang tua dan anak. Sementara itu, Sigelman dan Shaffer (dikutip dalam Yusuf, 2004) menyatakan bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil yang bersifat umum atau universal. Keluarga terdapat dalam setiap masyarakat di dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan bagian sosial terkecil dari seseorang yang terdiri dari orang-orang yang saling memiliki ikatan darah.
Sebagai komponen sosial terkecil dalam lingkungan sosial anak, keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan kepribadian anak. Salah satu peran keluarga yang memengaruhi kepribadian anak adalah pola asuh orang tua. Kepribadian anak yang terbentuk tergantung dari bagaimana orang tua mengasuh anaknya. Untuk bisa mendapatkan kepribadian anak yang diharapkan, orang tua harus bisa menggunakan pola asuh yang tepat.
Menurut Hurlock (dikutip dalam Clarissa & Darmalim, 2014), pola asuh orang tua merupakan sebuah interaksi mengenai aturan, nilai, dan norma-norma di masyarakat dalam mendidik, merawat, dan membesarkan anak-anaknya. Sementara itu, Maccoby mengungkapkan bahwa pola asuh merupakan interaksi antara orang tua dan anak-anaknya yang meliputi pengekspresian perilaku, sikap, minat, bakat, dan harapan-harapan orang tua dalam mengasuh, membesarkan, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya (Yanti, dalam Jannah, 2012).
Pola asuh berarti interaksi orang tua dengan anak. Dalam interaksi tersebut terdapat penanaman nilai, norma, dan aturan yang berlaku di masyarakat, serta pengembangan minat dan bakat yang dimiliki anak. Pola asuh juga berarti kegiatan orang tua untuk mendidik, merawat, membesarkan, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Menurut Baumrind (dikutip dalam King, 2014) terdapat empat macam pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak. Pola asuh tersebut diantaranya 1) pola asuh otoriter, 2) pola asuh otoritatif, 3) pola asuh penelantar, dan 4) pola asuh permisif. Berikut ini adalah jenis-jenis pola asuh yang diungkapkan oleh Baumrind.
1)     Pola asuh otoriter
Dalam pola asuh ini, semua tingkah laku, pengambilan keputusan, dan cara berpikir anak diatur oleh orang tua. Orang tua memiliki kendali penuh terhadap segala aspek kehidupan anaknya. Dalam menyampaikan keinginannya, orang tua cenderung memaksa, memerintah, memberi ancaman, dan menghukum. Dalam pola asuh ini sedikit sekali komunikasi secara verbal. Komunikasi yang terjadi hanya bersifat satu arah. Orang tua tidak lagi memberi pertimbangan terhadap pendapat anaknya.
Dampak pola asuh otoriter terhadap kepribadian anak menurut Baumrind (dikutip dalam King, 2014) menyatakan bahwa pola asuh ini akan membentuk anak yang pendiam, tertutup, sulit berinteraksi sosial, dan cenderung menarik diri dari kehidupan sosial. Selain itu, anak juga akan menjadi penakut, mudah tersinggung, pemurung, dan mudah stress. Dalam berinteraksi sosial anak akan terlihat kurang memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu dan mudah dipengaruhi (tidak memiliki pendirian yang kuat). Anak juga bisa memiliki sikap yang suka menentang, memberontak, dan tidak mau mematuhi peraturan.
2)     Pola asuh otoritatif. 
Dalam pola asuh ini orang tua mendorong anak untuk bersikap mandiri, tetapi orang tua masih memberikan kontrol terhadap perilaku anak. Anak diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya. Orang tua menanamkan nilai-nilai yang berlaku dengan cara yang lebih hangat. Dalam menanamkan nilai, orang tua akan menjelaskan dampak-dampak secara rasional dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak. Komunikasi antara orang tua dan anak bersifata dua arah. Kepentingan anak menjadi prioritas utama orang tua, tetapi masih dikontrol dalam pemberian kebebasan anaknya.
Dampak pola asuh otoritatif terhadap kepribadian anak dengan  pengasuhan yang hangat, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bersahabat. Selain itu, motivasi dan komunikasi yang dilakukan oleh orang tua akan mendorong anak untuk bersikap percaya diri, bertanggung jawab, kooperatif, dan mampu mengontrol diri. Anak juga akan cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan memiliki orientasi terhadap prestasi (Baumrind, dikutip dalam King, 2014).
3)     Pola asuh penelantar. 
Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe ini akan cenderung tidak terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anaknya. Dalam membesarkan anaknya, orang tua tidak memberikan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup.
Dampak pola asuh penelantar terhadap kepribadian anak oleh karena tidak merasa dipedulikan atau diurus, anak akan beranggapan bahwa orang tua memiliki hal lain yang lebih penting daripada dirinya. Selain itu, anak akan merasa kekurangan kasih sayang. Hal tersebut akan membuat anak cenderung memiliki sikap yang kurang mandiri dan kurang bisa mengontrol dirinya. Anak cenderung memiliki tempramen yang lemah, agresif, kurang bertanggung jawab, memiliki self esteem yang rendah, dan sering bermasalah dalam melakukan interaksi sosial (Baumrind, dikutip dalam King, 2014).
4)     Pola asuh permisif
Orang tua memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak bebas melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan batasan-batasan yang sangat sedikit. Dengan kata lain, kontrol orang tua terhadap perilaku anak sangat sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat dalam aspek-aspek kehidupan anaknya. Orang tua cenderung tidak menegur anaknya jika anaknya melakukan perbuatan yang salah.
Dampak pola asuh permisif terhadap kepribadian anak menurut Baumrind (dikutip dalam King, 2014), anak yang diberikan kebebasan yang berlebihan oleh orang tuanya cenderung tumbuh dengan kepribadian yang kurang bisa menghargai orang lain. Selain itu, anak juga menjadi manja, tidak patuh, agresif, dan mau menang sendiri. Anak kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri yang cukup. Anak juga kurang matang secara sosial. Prestasi pun tidak mendapat perhatian yang cukup dari anak dengan orang tua yang permisif. Anak juga cenderung memiliki tingkat inisiatif yang tinggi tetapi anak menuntut agar semua permohonannya dikabulkan.
c.   Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor utama hilangnya atau berkurangnya sopan santun kalangan remaja/siswa. Lingkungan yang buruk akan cenderung menghasilkan prilaku seorang remaja/siswa yang buruk. Faktor lingkungan yang mempengaruhi hilangnya rasa sopan santun pada remaja/siswa diantaranya Adat istiadat atau kebiasaan, kelompok atau geng, kepercayaan. Dan lain sebagainya.
d.  Sosial media
Kemajuan teknologi dan informasi memiliki pengaruh positif untuk memudahkan atau memfasilitasi kebutuhan seseorang. Akan tetapi, dengan kemajuan tehnologi banyak membawa pengaruh buruk terhadap kurangnya sopan santun dikalangan remaja/siswa. Sebagai contoh yaitu pergaulan bebas. Dengan kemajuan teknologi informasi remaja/siswa dengan mudah mengakses video atau foto-foto pornografi.
2.  Faktor eksternal
Fakktor eksternal terealisasi dalam kondisi sekarang yang secara realita kebudayaan terus berubah karena masuknya budaya barat yang akan sulit mempertahankan kesopanan disemua keadaan ataupun disemua tempat. Perubahan tersebut mengalami dekadensi karena berbedanya kebudayaan barat dengan kebudayaan kita. Misalnya saja sopan santun dalam tutur kata. Di barat, anak-anak yang sudah dewasa biasanya memanggil orang tuanya dengan sebutan nama, tetapi di Indonesia sendiri panggilan tersebut sangat tidak sopan karena orang tua umurnya lebih tua dari kita dan kita harus memanggilnya bapak ataupun ibu. Kemudian sopan santun dalam berpakaian, diluar negeri orang yang berpakaian bikini dipantai bagi mereka wajar. Tapi bagi kita berpakaian seperti itu sangat tidak sopan karena dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan. Selanjutnya Sopan santun dalam bergaul, dibarat jika kita bertemu teman yang berlawanan jenis kita boleh mencium bibirnya, tetapi di Indonesia hal tersebut sangat bertentangan dengan kesusilaan. Oleh karena kebudayaan yang masuk tidak tersaring sepenuhnya menyebabkan lunturnya sopan santun.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar